Jumat, 25 Maret 2016

PENGARUH BUDAYA TERHADAP BANGUNAN GEREJA



SEJARAH BANGUNAN BAIT SUCI YERUSALEM

Gb Sejarah Bait Suci, sumber: GNI design

Sekitar tahun 1500 SM, Alaha mengikatkan diri-Nya dengan Bangsa Israel dalam suatu perjanjian, yaitu Perjanjian Sinai (sering disebut Perjanjian Lama). Alaha ingin menyatakan kehadiran-Nya di tengah-tengah umat pilihan-Nya tersebut, karena itu Dia memerintahkan Nabi Mosha untuk membuatkan Kemah Suci yang bersifat SEDERHANA dan NOMADEN[1]. Sehingga kemah tersebut bisa dipindah-pindah seiring dengan keberadaan Bangsa Israel.

Atas niat Raja David, dibangunkanlah Bait Suci I di Yerusalem. Putranya, Raja Salomo membangun dengan MEGAH symbol kehadaran Alaha tersebut[2] sekitar tahun 960 SM. Namun bait ini hancur pada tahun 586 SM di tangan Raja Nebukadnezar. Simbol kehadiran Alaha yang menjadi pusat peribadatan ini punah akibat umat-Nya yang berontak dan menyembah banyak berhala. Perjanjian Sinai (PL) sudah tidak diindahkan lagi! Dan para pelanggar Torah Maryah ini harus mati semua di pengasingan. Nabi Yeremiyah menubuatkan datangnya masa Perjanjian Baru sebagai pemulihan Perjanjian Sinai ini[3].

Bait Suci II mulai dibangun lagi pada tahun 516 SM. Raja Yunani Antiochus IV Epiphanes sempat menajiskan[4] bait tersebut dengan membuatnya menjadi Bait Dewa Zeus dan memotong babi di atas altarnya. Saat Romawi mengambil alih Yerusalem th 63 SM, Raja Herodes mengizinkan para Imam Lewi menjalankan tugas mereka kembali. Bait tersebut direnovasi tahun 19 SM, hasilnya membuat bait tersebut SEMAKIN MEGAH DAN MEWAH. Sayangnnya, Bait Suci II Yerusalem tersebut sudah kehilangan kehadiran Alaha. Kaum Imamat Zadokit yang paling berhak untuk melayani-Nya sudah menyingkir ke dataran tinggi Qumran. Mereka, kaum Esseni ini menunggu Sang Imam Besar Melkisedek untuk memulihkan Bait Suci II. Mereka menantikan Hadirat Alaha kembali memulihkan Bait Suci.

Bayi berdarah suku raja-raja Yehuda dilahirkan perawan Marta Miriam (LAI: Maria) sekitar tahun 6 SM di Betlehem. Dia adalah Sang ImannuEL, Alaha beserta umat-Nya. Dialah Yeshua yang menjadi Mshikha (Mesias) Yahudi, pembawa kabar baik Perjanjian Baru yang telah dinubuatkan oleh Nabi Yeremiyah. Dia tidak menetap, Dia berjalan ke tengah-tengah umat-Nya sesuai keinginan Alaha Sang Bapa. Dialah Sang Imam Besar Melkisedek[5] yang dinantikan oleh kaum Esseni Yahudi yang memulihkan Bait Suci II. Kehidupan bayi ajaib, saat Dia dewasa, sampai kematian dan kebangkitan-Nya dari kubur sudah diketahui banyak orang dan menjadi cerita yang melegenda. Para pengikut-Nya dimulai dari Yerusalem menyebarkan kabar baik ke seluruh bumi untuk mengikatkan dirinya kepada Perjanjian Baru. Penerima PB meyakini bahwa Dialah BAIT SUCI III Rohaniah sehingga mereka tidak lagi menantikan terbangunnya bait suci megah dan permanen itu lagi. Bait Suci III Rohaniah bisa dibuatkan replikanya di manapun dalam bentuk MEZBAH persegi empat. Empat sisi ini mewakili 4 huruf YHWH. Yeshua adalah Sang YHWH sehingga pengajaran Jemaat Perdana itu artinya adalah pengajaran YHWH (di baca oleh jemaat perdana yg berbahasa Aramaik: ‘Maryah’), pengajaran Nazarene adalah pengajaran yang berpulang pada MEZBAH sebagai pusat peribadatan.



Gb.Mezbah, Sumber: Foto GNI

Mezbah adalah simbol kehadiran Alaha, di manapun jemaat PB-Nya tersebar di seluruh pelosok Bumi, Dia senantiasa ada di tengah-tengahnya. Dia tidak hanya bisa dikunjungi di Yerusalem, Dia bisa disembah di manapun sesuai nubuatan Sang Legenda ImannuEL kepada wanita Samaritan.[6] Inilah bentuk penyembahan yang tidak terkungkung oleh bentuk bangunan, tidak perlu kemewahan dan kemegahan, mengapa? Karena Dia adalah Roh yang tidak terbatas.




PERIBADATAN MEZBAH JEMAAT PERDANA
Jemaat Perdana Nazarene yang berpusat di Yerusalem, sama sekali tidak membutuhkan bangunan permanen dan megah untuk beribadat. Mereka bukanlah kaum Perushim (Farisi) yang sejak Bait Suci II dihancurkan oleh Romawi tahun 70 Masehi, terus berdoa dan menantikan dibangunnya bagunan kuno ini. Jemaat Perdana tidak perlu bangunan pusat untuk beribadat. Pusat peribadatan kaum Nazarene adalah Yeshua! Mereka melakukan peribadatan di rumah-rumah di manapun mereka bisa berkumpul untuk mengambil Qurbana Qadisha (Ind: Perjamuan Suci) di atas mezbah.[7] Asal ada mezbah, mereka bisa melakukan Qurbana. Inti dari peribadatan Jemaat awal adalah Qurbana ini, bukan kotbah atau pujian penyembahan seperti yang ada di banyak gereja Kristen modern. Qurbana Qadisha adalah suatu ritual penting yang sudah dilembagakan oleh Yeshua dan para rasul. Ini sering disebut sebagai ‘Sakramen’ (Ibr: Qadishot). Ini merupakan Qadishot yang sangat penting. Mereka yang menerimanya adalah mereka yang sudah mendapatkan mikveh (Ind: baptis) dari para imam atau uskup, selain itu tidak diperkenankan.

Pada masa kesukaran, peribadatan tidak pernah berhenti! Ruang-ruang bawah tanah Katakombe dijadikan tempat persembunyian dan sekaligus tempat ibadah. Dinding-dinding lorong Katakombe mereka pergunakan untuk makam orang beriman dan ruang-ruang besar untuk pertemuan ibadat rahasia waktu penganiayaan yang dilakukan sejak zaman zaman Kaisar Valeranius.[8]

Tidak jarang di kolong Mezbah-mezbah mereka juga terdapat makam para martir. Tidak pernah terbayang dalam benak mereka akan datang masanya peribadatan dilakukan kembali di bangunan besar sampai pada abad ke-4 di mana Kekaisaran Romawi membuka diri pada injil.

Gb Tengkorak-tengkorak pada Katakombe di bawah Kota Roma, sumber: bizarreglobehopper.com

Dimulai dari adanya Edik Milano, 313 Masehi, Kaisar Konstantine, penganut Mshikaye (Kristen) tidak lagi harus beribadat diam-diam, melainkan bebas beribadat. Katakombe lalu menjadi pusat penguburan, mereka bisa membangun tempat peribadatan dengan mezbah-mezbah di dalamnya di kota-kota.

PERIBADATAN KEMBALI DI GEDUNG-GEDUNG MEGAH

Jauh sebelum Kaisar Konstantin menjadi ketekumen Kristen[9] dan membuat Kristen sebagai agama kerajaannya, Bangsa Romawi dan Yunani adalah bangsa dengan budaya seni yang sangat tinggi. Kuil-kuil penyembahan di bangun sangat mewah, seperti halnya Bait Suci I dan II Yerusalem. Dinding-dindingnya berkeliling dilukisan dewa-dewa yang dipersonifikasikan ke dalam tubuh pria dan wanita yang anggun. Patung-patung dibuat sangat tinggi sebagai pusat perhatian jemaatnya. Inilah budaya kehidupan Romawi dan Yunani yang sangat bertolak belakang dengan budaya semitik Yahudi-Israel yang hanya berpusat pada satu penyembahan, satu Alaha, Sang Maryah. Dalam budaya semitik Yahudi, Alaha tidak digambarkan, tidak diwujudkan ke dalam patung tuangan, dan Alaha bukanlah suatu pribadi (Aram: Persopa). Hanya manusia saja yang pastas disebut sebagai ‘pribadi’. Hanya kerubim (mahluk angelic sorgawi) saja yang dibuat patung bersamaan dengan Tabut Perjanjian. Ini bukan suatu masalah sebenarnya karena manusia berkembang sesuai budayanya masing-masing. Injilpun bisa masuk ke dalam berbagai budaya manusia dan berkembang di dalamnya. Saat Sang Miltha (Ind: Sabda) Alaha masuk ke dalam dunia manusia, Dia pun harus berbudaya. Budaya yang dipakai-Nya adalah budaya Ibrani Yahudi. Dengan budaya itulah Dia mengajar Torah Mshikha (LAI: Hukum Kristus, Gal 6:2). Dengan kesederhanaan Dia menyampaikan injil, bahkan Dia rela dilahirkan secara sederhana di dalam palungan di suatu kandang ternak.

Saat gereja-gereja megah berdiri kembali di abad 4, Injil memasuki dunia yang baru Latin (Romawi) dan Yunani (Byzantium) yang sebenarnya sudah mengintip di abad 1. Tidak bisa dibendung oleh siapapun, cara-cara peribadatan menjadi berubah, dari hanya bermodalkan Mezbah untuk Qurbana menjadi gedung-gedung dengan ruangan lapang/luas dan kubah (Pantokrator). Mezbah tidak lagi dibuat secara sederhana, namun megah dan besar menjadi pusat perhatian dalam gedung tersebut. Nuansa kesederhanaan Yahudi Yeshua sudah hilang ditelan atmosfer kemewahan gereja bak istana raja ini.

Gb Bagunan-bangunan megah kuil pagan kuno Romawi dan Yunani, sumber: internet, GNI design

Lukisan dan patung dewa-dewi digantikan menjadi lukisan (Ikon) dan patung pahatan para Kadosa (para teladan suci yang sudah wafat). Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan gedung yang megah, ikon, dan patung-patung dengan muatan seni yang sungguh luar biasa. Seni adalah hasil pemikiran manusia, seni yang tinggi menunjukkan tingkat peradaban manusianya yang tinggi pula. Kendati ini adalah warisan budaya penyembahan pagan, namun apa yang mereka sembah bukan lagi ilah-ilah kuno nenek moyang mereka. Saat injil masuk ke dalam masyarakat dengan budaya seni yang sangat tinggi ini, pengajaran injil terus mereka usahakan untuk dilestarikan, misalnya qadishot baptisan dan Qurbana Qadisha, dll. Mereka bisa melakukan ritual-ritual tradisi Nazarene ini di dalam gedung-gedung mewah sbg tempat peribadatan ini.

Sejak abad 4, terbentuklah pusat-pusat agama Mshikanuth (Kekristenan) ini, antara lain: Roma, Alexandria, Antiokia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Yerusalem saat itu sudah tidak lagi dipimpin keturunan Yehuda seperti Mar Yakub HaTzadiq, hanya sampai abad ke-2 tahta ini habis tidak ada penerus sampai nanti kedatangan Maran Yeshua kedua kali di Yerusalem maka semua akan kembali seperti semula. Di abad 4, dilihat dari kekuasaan politik, maka pusat Kekristenan nomer satu adalah Roma, lalu muncul Konstantinopel, kemudian diikuti lainnya. Adapun jemaat-jemaat kecil di Celtic dan India tidak termasuk ke dalam sistem Pentarki besar ini. Di Roma dan Konstantine inilah berkembang gedung-gedung megah peribadatan. Uang untuk pembangunannya bukanlah suatu issue, secara budayapun mereka sudah membangun bangunan megah untuk para dewa-dewi kuno sebelumnya. Di kemudian hari Roma dikenal dengan nama Gereja Katolik Roma, sementara Konstanopel dikenal dengan nama Gereja Byzantium Yunani, sering disebut Gereja Ortodoks juga.

Perihal ‘bangunan gereja’ ini kita mendapatkan bimbingan dari Uskup Rev. John Dillard John Dillard, Presbyterous Episkopus The Holy Gallic Church, Gereja kuno Celtic, yang dalam surelnya kepada Alm Uskup Mar Nicholas Lumbantoruan awal tahun 2014 menyatakan bahwa:
Pertama kali kata ‘gereja’ digunakan dalam Perjanjian Baru adalah pada Injil Mattai 16 dan menggunakan kata Yunani di situ, ekklesia, artinya suatu berkumpul (gathering). Kata itu tidak menunjuk suatu struktur dengan empat tembok. Kata “gereja” yang Para Rasul dirikan adalah lebih seperti suatu gereja tanpa tembok-tembok bangunan, yang seperti itulah apa adanya kami sekarang. Ini disebabkan kami adalah suatu “gereja” tanpa tembok yang banyak para penulis dan ahli sejarah menyimpulkan Gereja atau Jemaat Keltik sudah punah. Tapi tidak ada yang bisa menjadi lebih jauh bentuk kebenaran (kebenaran atau gagasan tak bisa mati dan tak membutuhkan tembok). Kami adalah suatu IMAN yang melanjutkan tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Para Rasul dan “gereja” Kristen awal, suatu iman yang dibangun atas empat pilar ajaran-ajaran Mshikha tentang kasih, pengampunan, kerendahan hati dan welas asih/rahmat. Jika anda membaca tentang gereja awal dalam kitab Kisah Para Rasul dan Surat-surat Kiriman anda mendapati jemaat itu adalah suatu komunitas orang-orang percaya yang bertemu dalam rumah-rumah anggota orang percaya dan bukan dalam suatu rancang bangunan fisik bagi ibadat. Beginilah bagaimana gereja Gallika (Galatia) dan Keltik selalu bertemu dan beribadah. Kami berkumpul bersama untuk perayaan Sabat pada hari Jumat petang dan kemudian lagi pada Hari Maran (Minggu) untuk merayakan Kebangkitan dengan Qurbana dan jamuan makan kasih (Yunani, “agape”) bersama.



Gb Gedung gereja megah dengan budaya Yunani Byzantium, sumber: internet,GNI design.

Dengan sokongan dana yang tidak terbatas, baik Gereja Roma Katolik dan Gereja Byzantium Yunani menyebarkan ajaran mereka ke segala pelosok dengan membawa budaya mereka masing-masing. Bagunan gereja dibangun di berbagai tempat. Perhatikan gambar di atas, wajah Yeshua (kiri atas) yang berdarah Yehuda dibuat seperti pria Yunani yang lemah gemulai, dengan corak pakaian Yunani juga. Lukisan para kadosa (kiri bawah) mengelilingi ruangan ibadah yang mereka yakini mendorong jemaat lebih serius lagi dalam kegiatan penyembahan. Ruangan begitu luas menggambarkan penghormatan bagi Sang Raja Yeshua yang mereka sebut: ‘Iesous’ dalam bahasa Yunani. Akhiran ‘a’ tidak bisa mereka pakai untuk ‘Yeshua’ sebab itu akan mengartikan bahwa Sang Mshikha adalah sosok wanita, semua nama wanita pasti berakhiran ‘a’ oleh karena itu mereka ganti dengan akhiran ‘us’ menjadi ‘Iesous’. Pelafalan ini bukanlah suatu masalah selagi hati mereka menyebut nama ini dengan penuh rasa hormat. Dari kejauhan (gambar kanan), sutu gereja Yunani pastilah bagunan yang enak dipandang mata, megah dan cantik. Itulah tuangan rasa cinta mereka kepada Sang Raja. Mereka buatkan suatu istana, suatu pemikiran yang sama dengan pikiran Raja David saat dia meminta Alaha untuk membangunkan Bait Suci I di Yerusalem. Sejarah kembali terulang, Alaha mengizinkannya.

BUDAYA HELENIS YUNANI PADA BANGUNAN MESJID ISLAM
Islam adalah agama yang lahir di tanah arab pada abad 7 Masehi menyusul menyebarnya agama Mshikanuth di Arab. Dimulai saat para rasul berkumpul di Yerusalem saat pencurahan Roh Kudus pada moment Savuot, sekitar tahun 27 Masehi. Tercatat bahwa kejadian unik terjadi saat pewartaan injil Mar Kefa (Petrus) dan para rasul dalam bahasa Aramaiknya bisa didengar juga oleh orang-orang Arab yang berkunjung di sana.
Kis 2: 11 baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Alaha."
Dari kejadian tersebut kabar baik menyebar di tanah Arab. Rasul Markus adalah Uskup pertama di Gereja Koptik Mesir yang membuat bangsa itu menjadi bangsa Kristen sebelum masuknya Islam, lalu Mar Addai dan muridnya Mar Mari menginjil ke daerah Mesopotamia (Iraq) untuk mendirikan Church of The East (Gereja Assyria) yang dikenal luas dengan sebutan ‘Nestorian’, bahkan sebelum kelahiran Muhammad saw, kaum Etiophia Kristen sudah ada di Mekkah[10]. Tanah Arab yang luas banyak dihuni oleh umat Kristen, namun Arab tidak pernah ditaklukan oleh agama syiar ini, melainkan oleh Islam yang muncul belakangan. Karena muncul belakangan inilah mengapa ada ajaran bahkan budaya dari Kekristenan yang juga terserap secara tidak sadar oleh umat Islam. Salah satu budaya tersebut adalah bentuk bangunan kubah ala Helenis Yunani.

Gb Hagia Sophia

Tidak pernah ada bukti sejarah bentuk asli masjid-mesjid kuno pada abad-abad awal berdirinya Islam, semua mesjiq tua yang berhasil dilestarikan sudah mengalami renovasi berkali-kali dan saat ini kebanyakan telah menyerupai bentuk dari Gedung Gereja Byzantium dengan kubah di tengah. Satu sejarah yang tidak pernah dilupakan baik oleh umat Islam dan Kristen Byzantium adalah jatuhnya Konstantinopel, pusat Gereja Yunani ini di tangan Sultan muda Mehmed II yang berusia 21 tahun pada tahun 1453. Konstatinopel berubah nama menjadi ‘Islambol’ atau kota yang penuh dengan simbol Islam, lalu dikenal dengan nama ‘Istambul’ sampai sekarang. Gereja besar Hagia Sophia berubah menjadi masjid raya besar. Masih banyak umat Gereja Yunani yang menyayangkan alih fungsi rumah ibadat megah mereka sampai sekarang. Bangunan lain di kota berdarah itu banyak dibakar, namun gereja megah itu tetap tidak dirusak, kecuali banyak ikonisasi yang bertebaran di dalam gereja tentunya karena itu bertentangan dengan ajaran Islam. Umat Muslim begitu bangga dengan penaklukan ini dan juga bangga pada masjid baru mereka dengan nuansa Yunani. Sejak abad 15 tersebut sampai sekarang, bentuk masjid tidaklah memiliki banyak perbedaan dari Hagia Sophia. Sampai masuk ke Nusantara juga demikian. Kubah dan Manoret adalah ciri dari rumah ibadah Islam ini.


Gb Mesjis-mesjid dengan menyerap deisgn Gereja Byzantium yunani

Bangunan Minaret (Ind: Menara) di luar bangunan Mesjid juga merupakan adopsi dari Tradisi Syria yang belum banyak diketahui oleh muslim. Minaret atau ‘Stylite’ dikenal oleh karena pola hidup Rahib Gereja Syria, Simon Si
Minaret yang hidup sekitar tahun 400 Masehi[11]. Mengapa disebut ‘Si Minaret’? Karena dia adalah seorang esketis kuat, sering menyendiri, berdoa, dan berpuasa di tempat-tempat ketinggian. Dia menumpuk batu-batu menjadi tempat berpijak yang cukup tinggi di tengah masyarakat sekitar. Dia sering berdiri menjulang berjam-jam. Para murid dan orang-orang yang kagum meletakkan tangga dan menyediakan kebutuhan sehari-harinya. Ada kecendurungan tumpukan batu-batu tersebut dibuat semakin tinggi. Simon si Minaret seakan ingin mencapai sorga dan menjadi penghubung langit dengan bumi. Selama 37 tahun dia melakukan ini di antara kota Antiokia dan modern Allepo. Pilar paling tinggi yang dipijaknya mencapai 20 mater. Orang-orang dari Persia, Arab, dan Aramean berdatangan untuk melihatnya. Banyak terjadi kesembuhan, banyak orang menjadi pengikut Yeshua, dan banyak juga masalah yang selesai setelah dibawa kepadanya yang bertindak sebagai pemberi nasihat. Si Minoret ini mengingatkan masyarakat disekelilingnya untuk berdoa 7 waktu sehari dengan kiblat Timur seperti Tradisi umat Mshikaye pada umumnya. Tradisi adanya pilar tinggi ini kemudian di bawa oleh Gereja Byzantium sampai mereka ikut membangun pilar-pilar tinggi disekitar bangunan megah gereja kubah mereka.



Gb. Minaret masjid, sumber: peterloud.co.uk
Tradisi membangunan kubah dan Minoret inilah yang akhirnya di bawa oleh umat Islam di seluruh dunia untuk membangun rumah-rumah ibadah mereka, termasuk ke Indonesia. Design bangunan tersebut bukanlah asli hasil pemikiran mereka, namun merupakan percampuran budaya Helenis Yunani dan Syria Antiokia.

Penyerapan tradisi ini bukan masalah dosa atau tidak, bukan masalah salah atau benar. Ini adalah hal wajar yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Kehidupan kita sekarang adalah hasil dari tradisi masa lalu nenk moyang kita, demikian juga bentuk-bentuk bangunan rumah tradisional kita atau rumah ibadat kita. Semua adalah warisan leluhur. Jika kemudian ada modifikasi sana-sini itupun hal yang wajar. Hasil modifikasi saat ini mungkin akan diwariskan terus ke anak cucu kita sehingga kehidupan mereka akan semakin kaya akan budaya.

Ada yang cukup unik di Indonesia perihal bangunan ini. Ada gereja modern pecahan Protestan dengan nama Kristen Mesianik yang sangat anti pada Budaya Helenis Yunani, mereka anti menyebut nama ‘Yesus’ atau ‘Iesous’ lebih memilih nama Ibrani Mshikha yaitu ‘Yeshua’. Namun saat mereka beribadah, mereka tetap menggunakan terjemahan kitab PB Yunani dan salah satu petinggi mereka membangunan Gereja Kubah ala Yunani. Entah apa yang ada dipikirannya saat design bangunan itu tercipta. Semoga dia sadar bahwa Injil bisa masuk ke setiap budaya dan peribadatan tidak lagi harus berbudaya semitik Yahudi. Para rasul bisa masuk ke semua rumah ibadah untuk mengabarkan injil. Mereka tidak pernah membangun Sinagoge ke manapun mereka diutus. Rumah ibadah sejak abad 2 ke atas memang disebut ‘Gereja’ (Church) bukan ‘sinagoge’. Nama ‘Gereja’ kemudian dipakai sebagai nama organisasi jemaat perdana yang tersebar dalam penginjilan.

BUDAYA IKONISASI
Ikonisasi adalah karya seni pewujudan manusia di dalam rumah ibadah. Biasanya lukisan Miriam (Maria), Yeshua, dan para Kadosa (Ibr: HaQadoshim) atau orang-orang yang dianggap suci dan patut diteladani. Ikonisasi di dalam Gereja Roma Katolik dan Gereja Byzantium tidak berasal dari ajaran Tanakh, tidak pernah. Di dalam HaTorah memang Alaha memerintahkan Mosha untuk membuat patung Kerubim di Ruang Maha Kudus. Tapi hanya itulah ikonisasi di dalam budaya semitik. Tidak pernah ada ajaran Yahudi untuk menggambarkan wajah nabi-nabi di dinding-dinding sinagoga mereka. Sama sekali tidak ada baik di dalam Tanakh maupun dalam Talmud mereka. Peribadatan Judaism, terlepas dari ikonisasi tokoh-tokoh manusia. Ini adalah budaya Ibrani yang Alaha bentuk sejak di Padang Gurun Sinai. Ikonisasi merupakan seni yang diwariskan oleh ajaran pagan nenek moyang Romawi dan Yunani yang menyembah dewa-dewi. Setiap dewa digambarkan dan suatu wujud manusia gagah, seorang dewi menyerupai wanita cantik. Lukisan dan patung pahatan mereka terdapat di kuil-kuil penyembahan. Budaya inilah yang mereka warisi. Saat injil diterima, mereka memang tidak lagi menyembah Zeus, Apollo, Arthemis, dan lain-lain. Namun budaya seni rupa yang tinggi itu mereka terus lestarikan dan terapkan di dalam gedung-gedung peribadatan mereka.


Gb Ikonisasi di dalam bagunan kuno Yunani, sumber: GNI design

Pergamus Altar (gambar tengah dan kanan) adalah suatu monumen yang dibangun di zaman Raja Yunani Eumenes II pada abad 1-2 SM. Pada dinding-dindingnya, dipenuhi images dawa-dewi dan juga gamabr altar dewa tertnggi mereka, Zeus, suatu ikonisasi dengan nilai seni yang tinggi da menjadi pusat turis saat ini. Gambar kiri adalah gambar Kuil Doric Order. Bagian ‘metope’ atas pilar terdapat banyak ikonisasi ilah-ilah pagan Yunani. Seperti halnya bentuk bangunan, ikonisasi atau seni lukis dan patung di dalam gedung-gedung gereja merupakan hal yang wajar sebagai bagian dari budaya yang berkembang di tengah masyarakat Latin Roma dan Yunani Byzantium. Ini terlepas dari masalah benar atau salah, dosa atau tidak berdosa membuatnya. Ini adalah budaya manusia yang harus kita hormati. Sebagaimana kita mengharapkan orang lain memahami budaya dan cara berpikir kita, kita juga harus mencoba memahami dan tidak menghakimi budaya lain. Terutama juga karena bentuk budaya ikonisasi yang mereka pakai dalam peribadatan bisa membantu mereka dalam menyembah Alaha. Itu adalah hak suci mereka. Jadi dari sanalah asal muasal mengapa gereja Latin Roma Katolik dan gereja Yunani Byzantium memiliki ikonisasi dan patung-patung pahatan di dalam dan di luar gedung gereja mereka. Mereka terus melestarikan budaya nenek moyangnya, bukan melestarikan budaya semitik Nazarene yahudi.

BANGUNAN GEREJA NASRANI DI INDONESIA
Dengan mengusung kembali dengan corak semitik Nazarene jemaat awal, maka GNI tidak menekankan pentingnya bangunan gedung megah sebagai tempat peribadatan. Jika ada dua pilihan antara memiliki gedung mewah bak Hagia Sophia di Jakarta atau memiliki imam-imam yang memimpin di 10 provinsi, tentunya pilihan kami jatuh pada pilihan kedua. Jemaat harus dilayani, katekumen harus diajar, orang-orang luar harus diarahkan masuk ke dalam Perjanjian Baru. Peribadatan yang harus dibangun terlebih dahulu, bukan bangunan ibadahnya. Rumah sekecil apapun bisa menjadi tempat ibadah, selagi ada Mezbah dan Qurbana di atasnya. Semua gereja ingin memiliki gedung megah, kami juga, namun akan lebih baik itu kami disewakan dan kami memilih gedung yang sederhana namun nyaman untuk beribadat. Budaya di Nusantara ini seperti Jawa, Batak, Ambon, dll tidak ada yang mengajarkan kemewahan dalam peribadat kepada Alaha. Budaya gedung megah Yunani dan Latin tidak perlu kami serap di Indonesia. Indonesia punya budaya sendiri yang harus juga dilestarikan. Sebaiknya peribadatan kembali ke rumah-rumah seperti jemaat awal. Kami akan beribadat di rumah-rumah adat, di Toraja kami akan beribadat di Tongkonan sebagai ganti gedung megah, di Jawa ibadat diawali dengan pukulan gong sebagai ganti tiupan sofar, di Tana Batak menggunakan ulos sebagai ganti tallit Israel, di Bali kami sholat (aram: Shlota) dengan bahasa local Bali, di daerah manapun kami akan angkat budaya setempat. Kami akan menghidupkan injil bersamaan dengan tradisi local. Kami tidak pernah anti budaya luar, hanya saja sudah merupakan komitmen para rasul awal untuk membaur dan tidak membawa-bawa budaya Yahudi, kami juga demikian.


Budaya gedung megah Yunani dan Latin tidak perlu kami serap di Indonesia. Indonesia punya budaya sendiri yang harus juga dilestarikan. Sebaiknya peribadatan kembali ke rumah-rumah seperti jemaat awal.
Shm  Sem Aldo Tulung Allo

GNI kembali ke ajaran Limudah (Didache) di mana kehidupan sederhana merupakan hal penting. Kemegahan dan kemewahan dalam beribadat baru muncul saat gereja berkolaborasi intim dengan kekuasaan Kaisar. Politik sejak saat itu merasuki gedung-gedung megahnya. Sulit sekali ‘bernafas’ menghirup udara pengajaran awal jika nuansa politik mencengkram para pemimpin gereja. GNI tidak pernah memusuhi budaya manusia, namun jika budaya itu memberangus ajaran awal dan mencoba mengaku-ngaku ajaran awal itu yang kami sangat sesali dan harus diwaspadai bersama. Dengan adanya uraian ini, pembaca bisa memahami dan menghormati setiap budaya ke mana injil itu dikabarkan. Pembaca juga tentu bisa menghormati ajaran semitik awal yang mengedepankan kesederhanaan seperti Yeshua sendiri. Dialah Sang Bait Suci Kristen dunia ini. Biarlah ajaran semitik Nazarene Yerusalem sebagai pusat Kekristenan awal bisa dilestarikan dengan memakai budaya lokal.



Gb. Uskup Nicholas memberikan berkat di depan Mezbah di Paroki Madiun, sumber: Foto GNI,





[1] Im 26:11 (LAI) Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu dan hati-Ku tidak akan muak melihat kamu. | Bil 1:51 (LAI) Apabila berangkat, Kemah Suci harus dibongkar oleh orang Lewi, dan apabila berkemah, Kemah Suci harus dipasang oleh mereka; sedang orang awam yang mendekat harus dihukum mati.
[2] 1Taw 29:1 (LAI) Berkatalah raja Daud kepada segenap jemaah itu: "Salomo, anakku yang satu-satunya dipilih Allah adalah masih muda dan kurang berpengalaman, sedang pekerjaan ini besar, sebab bukanlah untuk manusia bait itu, melainkan untuk TUHAN Allah.
[3] Yer 31:31 (LAI) Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda,
[5] Ibr 5:6  (LAI) sebagaimana firman-Nya dalam suatu nas lain: "Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek."
[6] Yoh 4: 21 Kata Yeshua kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
[7] Kis 2:46 (LAI) Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,
[8] Adolf Heuken., Ensiklopedia Gereja jilid IV K-KI,Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 2005
[9] Konstantine baru menjadi Kristen secara resmi saat dia dibaptis oleh imam dari Arianisme tepat sebelum dia wafat. Sebelumnya dia hanya memanfaatkan kekristenan sebagai alat politik, dia adalah imam untuk agama Mithra yang lama dianutnya. Apakah pertobatan atau baptisannya SAH atau tidak, itu hanya Alah dan dia yang  tahu. Semoga Alaha mengasihi jiwanya.
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, 6th ed. (Macmillan and St. Martin's Press, 1967, pp. 78-84 (on the Ghassanids and Lakhmids) and pp. 87-108 (on Yemen and the Hijaz).
[11] A Wessel, Arab and Christian? Christians in the Middle East, hal 85