3 PILAR IMAN NAZARENE

Tiga Pilar Iman Nazarene. Terdiri dari:
  1. Pewahyuan Suci atau Mistikisme (Kadisha d’Gilyana).
  2. Tradisi Suci Lisan (Kadisha Masorah), dan
  3. Kitab Suci Tertulis (Kadisha d’Ketava).
Ketiga pilar iman ini saling menjelaskan dan melengkapi. Ketiga pilar ini tidak bisa saling berbenturan! Jika bentrok maka sudah pasti ada yang keliru dan tidak bisa dijadikan suatu kebenaran. Jemaat Nazarene di Indonesia selalu berpegang pada ke-3 pilar ini dalam menjalankan pemuridan.




Pewahyuan Suci atau Mistikisme
Pada umumnya, Gereja Rasuliah hanya berdasarkan dua pilar Iman: Kitab Suci dan Tradisi dalam Gereja-gereja Ortodoks Timur dan Katolik Barat, tetapi pada prakteknya mereka juga meyakini Mistikisme terutama dalam kehidupan Biara. Contoh seorang Hesikastis (mistikus) dari Gereja ortodoks Timur adalah Gregory Palamas (1296-1359) seorang rahib dari Gunung Athos di Yunani dan kemudian menjadi Uskup Agung Thessaloniki, dan Serafim dari Sarov (Russian: 1833), dia dikenal luas sebagai rahib Russia dan mistikus dalam Gereja Ortodoks Russia. Begitu juga dari Gereja Roma Katolik dikenal beberapa mistikus, Francis dari Assisi (1181-1226), Thomas Aquinas (1225-1274), seorang rahib Dominican dan imam Katolik, dan banyak lagi lainnya. Hanya Gereja-gereja ini tidak menjadikan ‘Mistikisme’ sebagai Pilar Iman, sementara Gereja Nasrani Katolik Ortodoks berkeyakinan Mistikisme adalah Pilar Iman Ketiga. Dua orang mistikus terkenalnya adalah ArchBishop John Sebastian Marlow Ward (1885-1949) dan St. Serapha (1890-1965). Kaum mistikus tersebut tidak lain adalah para nabi yang menjadi telinga untuk Suara Alaha bagi jemaat-Nya. Jawatan nabi ini tidak boleh hilang di dalam komunitas sebab Alaha terus berbicara sampai sekarang. Para nabi bukan hanya ada di zaman PL (Mosha-Yeremia-Yesaya-dll), namun juga di dalam masa PB.


Kis 13:1 (LAI) Pada waktu itu dalam jemaat di Antiokhia ada beberapa nabi dan pengajar, yaitu: Barnabas dan Simeon yang disebut Niger, dan Lukius orang Kirene, dan Menahem yang diasuh bersama dengan raja wilayah Herodes, dan Saulus.
LIM 15:1 Oleh karena itu, pilihlah, bagi kalian sendiri para uskup dan para diakon yang layak di hadapan Maran, para pria yang lembut hatinya dan tidak tamak, dan benar dan diakui, sebab mereka melaksanakan bagimu pelayanan para nabi dan guru. Oleh karena itu, jangan rendahkan mereka, sebab mereka adalah yang terhormat diantaramu, bersama dengan para guru dan nabi.

Pada hakikatnya Agama itu seharusnya mengandung dua unsur, yakni Eksoterisme (Bentuk Luar) dan Isoterisme (Mistik). Agama yang hanya mengandalkan Eksoterisme (Bentuk Luar) menjadikan agama itu berkarakter ‘Legalistis’ saja yang terdiri dari berbagai ritus, seremonial, perayaan, tulisan-tulisan dan berbagai aneka tafsir, fatwa, dan rumusan rasional keagamaan sehingga keagamaan itu sangat menitik beratkan pada ‘Theologumenon’ (pendapat-pendapat hasil tafsir) seperti halnya Keagamaan Yudaisme Rabbinik yang menghasilkan Talmud, dan begitu juga Gereja-gereja Ortodoks Timur dan Katolik Barat yang banyak hanya menghasilkan Legalitas dari Konsili-konsili Rasional saja. Agama itu harus mengandung sisi Isoterisme untuk keseimbangan sehingga tidak mengharapkan tafsir rasional manusia saja, melainkan menunggu Wahyu-wahyu Ilahi yang disampaikan Alaha, melalui Para Malaikat atau berbagai nubuatan kenabian, sebagaimana Alkitab katakan:
“Bila tidak ada Wahyu kenabian, umat menjadi liar; sebaliknya ia yang menjalankan Torah berbahagia.” Sefer Mislei (Amsal) 29:18.
Suatu Gereja Rasuliah yang utuh haruslah mempertahankan jawatan kenabian karena memang jemaat ini sejak awal dibentuk oleh para rasul dan nabi.
Ef 2: 19 Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Alaha, 20 yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Mshikha Yeshua sebagai batu penjuru.
 Ef 3:5 yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus,

Uskup Agung John Cuffe adalah salah satu pakar Mistika kami yang masih terus bisa berkontak dengan Alaha. GNI memawisi banyak penyingkapan Alaha melalui dirinya dan uskup-uskup sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan pengajaran tentang Shamayim (LAI: Sorga) dari keuskupan kami jauh lebih dalam di banding gereja rasuliah pada umumnya.

Tradisi Suci Lisan
Tradisi Lisan adalah pengajaran Lisan atau sering disebut sebagai ‘Oral Torah’. Setelah para nabi menerima pewahyuan dari Alaha, lalu mereka menyampaikannya kepada jemaat maka apa yang mereka sampaikan itu adalah Tradisi Lisan. Pesan Alaha bisa dikemas ke dalam suatu budaya yang dimiliki oleh masyarakat penerima penyingkapan itu. Misalnya, Alaha memerintahkan umat Israel untuk membuat Tzit-tzit melalui nabi Mosha. Maka Mosha dengan hikmat atau kearifan lokalnya mengajarkan bagaimana memilih benang, bagaimana cara memilinnya, lalu bagaimana cara memakai tzit-tzit tersebut. Ajaran lisan ini disampaikan darinya ke para pengajar lain, dari ayah ke anak, dan seterusnya.

Di dalam masa PB, Maran Yeshua adalah Sang Nabi yang menerima Pewahyuan Suci lalu menyampaikan pengajaran secara LISAN dalam Tradisi Lisan. Yeshua tidak menulis kitab dan Alaha tidak pernah menurunkan kitab dari langit untuk menjadi sumber pengajaran Yeshua. Apa yang diajarkan-Nya adalah suatu tradisi yang direkam di dalam kepala para murid-Nya selama 3,5 tahun. Semua pengajaran asalnya tidak dalam tulisan. Tradisi-tradisi yang tidak dituliskan ke dalam suatu kitab yang dikanon antara lain: Siddurim (liturgi-liturgi ibadah), kidungan, sejarah gereja, qadishotim (sakramen-sakramen), dan lain-lain. Semua hal ini pada akhirnya dituliskan ke dalam seminari-seminari di semua gereja rasuliah yang menyebar ke banyak bangsa. Tradisi biasanya dipraktikkan atau dicontohkan dari imam ke imam penerusnya, dari uskup ke uskup penerusnya sehingga pengajaran lisan ini bisa terus terpelihara dari zaman ke zaman.

Kitab Suci Tertulis
Sejak sekitar tahun 40 Masehi kitab-kitab PB dituliskan oleh para murid Yeshua. Jadi ada rentang waktu di mana gereja-gereja tidak memiliki kitab PB, semua pengajaran adalah ajaran LISAN (tradisi). Setelah tradisi ada, barulah ada kitab-kitab. Tentu saja tradisi jauh lebih lengkap dan detail, sementara kitab hanya mencatat hal-hal yang dinggap penulisnya penting saja. Misalnya kata ‘Baptis’ dalam injil Matius. Di sana tidak pernah ada keterangan detail seperti siapa yang berhak membaptis, baptis itu diselam atau dipercik, bagaimana membaptis orang yang sakit, bagaimana membaptis di daerah yang kekurangan air, dll. Kitab suci harus diterangi oleh tradisi supaya pembacanya bisa memahami ajaran asli jemaat perdana.

Sayangnya, kitab yang beredar di antara jemaat bukan saja kitab yang berisi ajaran yang benar, ada juga yang salah atau sebagian yang mengandung ajaran benar dari para rasul yang mengingat ajaran Yeshua. Oleh karena itulah masing-masing Gereja Rasuliah melakukan kanonisasi (pengelompokan) kitab suci. Masing-masing uskup berhak melakukan kanon tersebut sesuai kearifanya. Kendati tidak semua dari gereja mereka yang masih memiliki peran kenabian yang memudah mereka memilah-milah, namun kanonisasi ini tetap terjadi.

Kitab suci hasil kanonisasi ini adalah hasil dari tulisan para pemimpin Gereja Rasuliah! Bahkan Gereja Asyria menyalin kembali kitab Tanakh ke dalam bahasa aramaik sejak abad 1 Masehi. Sehingga gereja ini memiliki kitab PL dan PB dalam bahasa aramaik. Gereja Rasuliah lain melestarikan Salinan Septuaginta (kitab PL dalam bahasa yunani).


Naskah-naskah kitab PB asli baik dalam aramaik dan juga yunani tidaklah bisa bertahan sampai sekarang karena ilmu pengetahuan yang tidak mencukupi di abad awal. Di zaman modern ini, Gereja Rasuliah sudah memiliki banyak museum sendiri-sendiri untuk mengawetkan naskah-naskah tua kami. Museum naskah kitab GNI terdapat di Queensland Australia di bawah pengawasan keuskupan tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar