SEJARAH
BANGUNAN BAIT SUCI YERUSALEM
Gb
Sejarah Bait Suci, sumber: GNI design
Sekitar tahun 1500 SM, Alaha
mengikatkan diri-Nya dengan Bangsa Israel dalam suatu perjanjian, yaitu
Perjanjian Sinai (sering disebut Perjanjian Lama). Alaha ingin menyatakan
kehadiran-Nya di tengah-tengah umat pilihan-Nya tersebut, karena itu Dia
memerintahkan Nabi Mosha untuk membuatkan Kemah Suci yang bersifat SEDERHANA
dan NOMADEN[1]. Sehingga kemah tersebut
bisa dipindah-pindah seiring dengan keberadaan Bangsa Israel.
Atas niat Raja David,
dibangunkanlah Bait Suci I di Yerusalem. Putranya, Raja Salomo membangun dengan
MEGAH symbol kehadaran Alaha tersebut[2]
sekitar tahun 960 SM. Namun bait ini hancur pada tahun 586 SM di tangan Raja
Nebukadnezar. Simbol kehadiran Alaha yang menjadi pusat peribadatan ini punah
akibat umat-Nya yang berontak dan menyembah banyak berhala. Perjanjian Sinai
(PL) sudah tidak diindahkan lagi! Dan para pelanggar Torah Maryah ini harus
mati semua di pengasingan. Nabi Yeremiyah menubuatkan datangnya masa Perjanjian
Baru sebagai pemulihan Perjanjian Sinai ini[3].
Bait Suci II mulai dibangun lagi
pada tahun 516 SM. Raja Yunani Antiochus
IV Epiphanes sempat
menajiskan[4] bait tersebut dengan membuatnya
menjadi Bait Dewa Zeus dan memotong babi di atas altarnya. Saat Romawi
mengambil alih Yerusalem th 63 SM, Raja Herodes mengizinkan para Imam Lewi
menjalankan tugas mereka kembali. Bait tersebut direnovasi tahun 19 SM,
hasilnya membuat bait tersebut SEMAKIN MEGAH DAN MEWAH. Sayangnnya, Bait Suci
II Yerusalem tersebut sudah kehilangan kehadiran Alaha. Kaum Imamat Zadokit
yang paling berhak untuk melayani-Nya sudah menyingkir ke dataran tinggi
Qumran. Mereka, kaum Esseni ini menunggu Sang Imam Besar Melkisedek untuk
memulihkan Bait Suci II. Mereka menantikan Hadirat Alaha kembali memulihkan
Bait Suci.
Bayi berdarah suku raja-raja
Yehuda dilahirkan perawan Marta Miriam (LAI: Maria) sekitar tahun 6 SM di
Betlehem. Dia adalah Sang ImannuEL, Alaha beserta umat-Nya. Dialah Yeshua yang
menjadi Mshikha (Mesias) Yahudi, pembawa kabar baik Perjanjian Baru yang telah
dinubuatkan oleh Nabi Yeremiyah. Dia tidak menetap, Dia berjalan ke
tengah-tengah umat-Nya sesuai keinginan Alaha Sang Bapa. Dialah Sang Imam Besar
Melkisedek[5]
yang dinantikan oleh kaum Esseni Yahudi yang memulihkan Bait Suci II. Kehidupan
bayi ajaib, saat Dia dewasa, sampai kematian dan kebangkitan-Nya dari kubur
sudah diketahui banyak orang dan menjadi cerita yang melegenda. Para
pengikut-Nya dimulai dari Yerusalem
menyebarkan kabar baik ke seluruh bumi untuk mengikatkan dirinya kepada
Perjanjian Baru. Penerima PB meyakini bahwa Dialah BAIT SUCI III Rohaniah
sehingga mereka tidak lagi menantikan terbangunnya bait suci megah dan permanen
itu lagi. Bait Suci III Rohaniah bisa dibuatkan replikanya di manapun dalam
bentuk MEZBAH persegi empat. Empat sisi ini mewakili 4 huruf YHWH. Yeshua
adalah Sang YHWH sehingga pengajaran Jemaat Perdana itu artinya adalah
pengajaran YHWH (di baca oleh jemaat perdana yg berbahasa Aramaik: ‘Maryah’),
pengajaran Nazarene adalah pengajaran yang berpulang pada MEZBAH sebagai pusat
peribadatan.
Gb.Mezbah, Sumber: Foto GNI
|
Mezbah adalah simbol kehadiran
Alaha, di manapun jemaat PB-Nya tersebar di seluruh pelosok Bumi, Dia senantiasa
ada di tengah-tengahnya. Dia tidak hanya bisa dikunjungi di Yerusalem, Dia
bisa disembah di manapun sesuai nubuatan Sang Legenda ImannuEL kepada wanita
Samaritan.[6] Inilah bentuk
penyembahan yang tidak terkungkung oleh bentuk bangunan, tidak perlu kemewahan
dan kemegahan, mengapa? Karena Dia adalah Roh yang tidak terbatas.
|
PERIBADATAN
MEZBAH JEMAAT PERDANA
Jemaat Perdana Nazarene yang berpusat di Yerusalem, sama sekali
tidak membutuhkan bangunan permanen dan megah untuk beribadat.
Mereka bukanlah kaum Perushim (Farisi) yang sejak Bait Suci II dihancurkan oleh
Romawi tahun 70 Masehi, terus berdoa dan menantikan dibangunnya bagunan kuno
ini. Jemaat Perdana tidak perlu bangunan pusat untuk beribadat. Pusat
peribadatan kaum Nazarene adalah Yeshua! Mereka melakukan peribadatan di
rumah-rumah di manapun mereka bisa berkumpul untuk mengambil Qurbana Qadisha
(Ind: Perjamuan Suci) di atas mezbah.[7] Asal
ada mezbah, mereka bisa melakukan Qurbana. Inti dari peribadatan Jemaat awal
adalah Qurbana ini, bukan kotbah atau pujian penyembahan seperti yang ada di
banyak gereja Kristen modern. Qurbana Qadisha adalah suatu ritual penting yang
sudah dilembagakan oleh Yeshua dan para rasul. Ini sering disebut sebagai ‘Sakramen’
(Ibr: Qadishot). Ini merupakan Qadishot yang sangat penting. Mereka yang
menerimanya adalah mereka yang sudah mendapatkan mikveh (Ind: baptis) dari para
imam atau uskup, selain itu tidak diperkenankan.
Pada
masa kesukaran, peribadatan tidak pernah berhenti! Ruang-ruang bawah tanah
Katakombe dijadikan tempat persembunyian dan sekaligus tempat ibadah. Dinding-dinding lorong Katakombe mereka pergunakan
untuk makam orang beriman dan ruang-ruang besar untuk pertemuan ibadat rahasia waktu penganiayaan
yang dilakukan sejak zaman zaman Kaisar Valeranius.[8]
Tidak
jarang di kolong Mezbah-mezbah mereka juga terdapat makam para martir. Tidak
pernah terbayang dalam benak mereka akan datang masanya peribadatan dilakukan
kembali di bangunan besar sampai pada abad ke-4 di mana Kekaisaran Romawi
membuka diri pada injil.
|
Gb
Tengkorak-tengkorak pada Katakombe di bawah Kota Roma, sumber: bizarreglobehopper.com
|
Dimulai
dari adanya Edik Milano, 313 Masehi, Kaisar Konstantine, penganut Mshikaye
(Kristen) tidak lagi harus beribadat diam-diam, melainkan bebas beribadat. Katakombe
lalu menjadi pusat penguburan, mereka bisa membangun tempat peribadatan dengan
mezbah-mezbah di dalamnya di kota-kota.
PERIBADATAN KEMBALI DI
GEDUNG-GEDUNG MEGAH
Jauh sebelum Kaisar Konstantin
menjadi ketekumen Kristen[9]
dan membuat Kristen sebagai agama kerajaannya, Bangsa Romawi dan Yunani adalah bangsa
dengan budaya seni yang sangat tinggi. Kuil-kuil penyembahan di bangun sangat
mewah, seperti halnya Bait Suci I dan II Yerusalem. Dinding-dindingnya berkeliling
dilukisan dewa-dewa yang dipersonifikasikan ke dalam tubuh pria dan wanita yang
anggun. Patung-patung dibuat sangat tinggi sebagai pusat perhatian jemaatnya.
Inilah budaya kehidupan Romawi dan Yunani yang sangat bertolak belakang dengan
budaya semitik Yahudi-Israel yang hanya berpusat pada satu penyembahan, satu
Alaha, Sang Maryah. Dalam budaya semitik Yahudi, Alaha tidak digambarkan, tidak
diwujudkan ke dalam patung tuangan, dan Alaha bukanlah suatu pribadi (Aram:
Persopa). Hanya manusia saja yang pastas disebut sebagai ‘pribadi’. Hanya
kerubim (mahluk angelic sorgawi) saja yang dibuat patung bersamaan dengan Tabut
Perjanjian. Ini bukan suatu masalah sebenarnya karena manusia berkembang sesuai
budayanya masing-masing. Injilpun bisa masuk ke dalam berbagai budaya manusia
dan berkembang di dalamnya. Saat Sang Miltha (Ind: Sabda) Alaha masuk ke dalam
dunia manusia, Dia pun harus berbudaya. Budaya yang dipakai-Nya adalah budaya
Ibrani Yahudi. Dengan budaya itulah Dia mengajar Torah Mshikha (LAI: Hukum
Kristus, Gal 6:2). Dengan kesederhanaan Dia menyampaikan injil, bahkan Dia rela
dilahirkan secara sederhana di dalam palungan di suatu kandang ternak.
Saat
gereja-gereja megah berdiri kembali di abad 4, Injil memasuki dunia yang baru
Latin (Romawi) dan Yunani (Byzantium) yang sebenarnya sudah mengintip di abad
1. Tidak bisa dibendung oleh siapapun, cara-cara peribadatan menjadi berubah,
dari hanya bermodalkan Mezbah untuk Qurbana menjadi gedung-gedung dengan ruangan
lapang/luas dan kubah (Pantokrator). Mezbah tidak lagi dibuat secara sederhana,
namun megah dan besar menjadi pusat perhatian dalam gedung tersebut. Nuansa
kesederhanaan Yahudi Yeshua sudah hilang ditelan atmosfer kemewahan gereja bak
istana raja ini.
Gb
Bagunan-bangunan megah kuil pagan kuno Romawi dan Yunani, sumber: internet, GNI
design
Lukisan dan patung dewa-dewi
digantikan menjadi lukisan (Ikon) dan patung pahatan para Kadosa (para teladan
suci yang sudah wafat). Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan gedung yang
megah, ikon, dan patung-patung dengan muatan seni yang sungguh luar biasa. Seni
adalah hasil pemikiran manusia, seni yang tinggi menunjukkan tingkat peradaban
manusianya yang tinggi pula. Kendati ini adalah warisan budaya penyembahan
pagan, namun apa yang mereka sembah bukan lagi ilah-ilah kuno nenek moyang
mereka. Saat injil masuk ke dalam masyarakat dengan budaya seni yang sangat
tinggi ini, pengajaran injil terus mereka usahakan untuk dilestarikan, misalnya
qadishot baptisan dan Qurbana Qadisha, dll. Mereka bisa melakukan ritual-ritual
tradisi Nazarene ini di dalam gedung-gedung mewah sbg tempat peribadatan ini.
Sejak abad 4, terbentuklah
pusat-pusat agama Mshikanuth (Kekristenan) ini, antara lain: Roma, Alexandria,
Antiokia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Yerusalem saat itu sudah tidak lagi
dipimpin keturunan Yehuda seperti Mar Yakub HaTzadiq, hanya sampai abad ke-2
tahta ini habis tidak ada penerus sampai nanti kedatangan Maran Yeshua kedua
kali di Yerusalem maka semua akan kembali seperti semula. Di abad 4, dilihat
dari kekuasaan politik, maka pusat Kekristenan nomer satu adalah Roma, lalu
muncul Konstantinopel, kemudian diikuti lainnya. Adapun jemaat-jemaat kecil di
Celtic dan India tidak termasuk ke dalam sistem Pentarki besar ini. Di Roma dan
Konstantine inilah berkembang gedung-gedung megah peribadatan. Uang untuk
pembangunannya bukanlah suatu issue, secara budayapun mereka sudah membangun
bangunan megah untuk para dewa-dewi kuno sebelumnya. Di kemudian hari Roma
dikenal dengan nama Gereja Katolik Roma, sementara Konstanopel dikenal dengan
nama Gereja Byzantium Yunani, sering disebut Gereja Ortodoks juga.
Perihal ‘bangunan gereja’ ini kita
mendapatkan bimbingan dari Uskup Rev. John Dillard John Dillard, Presbyterous
Episkopus The Holy Gallic Church, Gereja kuno Celtic, yang dalam surelnya
kepada Alm Uskup Mar Nicholas Lumbantoruan awal tahun 2014 menyatakan bahwa:
Pertama kali kata ‘gereja’ digunakan dalam Perjanjian Baru adalah pada Injil Mattai 16 dan menggunakan kata Yunani di situ, ekklesia, artinya suatu berkumpul (gathering). Kata itu tidak menunjuk suatu struktur dengan empat tembok. Kata “gereja” yang Para Rasul dirikan adalah lebih seperti suatu gereja tanpa tembok-tembok bangunan, yang seperti itulah apa adanya kami sekarang. Ini disebabkan kami adalah suatu “gereja” tanpa tembok yang banyak para penulis dan ahli sejarah menyimpulkan Gereja atau Jemaat Keltik sudah punah. Tapi tidak ada yang bisa menjadi lebih jauh bentuk kebenaran (kebenaran atau gagasan tak bisa mati dan tak membutuhkan tembok). Kami adalah suatu IMAN yang melanjutkan tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran Para Rasul dan “gereja” Kristen awal, suatu iman yang dibangun atas empat pilar ajaran-ajaran Mshikha tentang kasih, pengampunan, kerendahan hati dan welas asih/rahmat. Jika anda membaca tentang gereja awal dalam kitab Kisah Para Rasul dan Surat-surat Kiriman anda mendapati jemaat itu adalah suatu komunitas orang-orang percaya yang bertemu dalam rumah-rumah anggota orang percaya dan bukan dalam suatu rancang bangunan fisik bagi ibadat. Beginilah bagaimana gereja Gallika (Galatia) dan Keltik selalu bertemu dan beribadah. Kami berkumpul bersama untuk perayaan Sabat pada hari Jumat petang dan kemudian lagi pada Hari Maran (Minggu) untuk merayakan Kebangkitan dengan Qurbana dan jamuan makan kasih (Yunani, “agape”) bersama.
Gb Gedung
gereja megah dengan budaya Yunani Byzantium, sumber: internet,GNI design.
Dengan
sokongan dana yang tidak terbatas, baik Gereja Roma Katolik dan Gereja
Byzantium Yunani menyebarkan ajaran mereka ke segala pelosok dengan membawa
budaya mereka masing-masing. Bagunan gereja dibangun di berbagai tempat. Perhatikan
gambar di atas, wajah Yeshua (kiri atas) yang berdarah Yehuda dibuat seperti
pria Yunani yang lemah gemulai, dengan corak pakaian Yunani juga. Lukisan para
kadosa (kiri bawah) mengelilingi ruangan ibadah yang mereka yakini mendorong
jemaat lebih serius lagi dalam kegiatan penyembahan. Ruangan begitu luas
menggambarkan penghormatan bagi Sang Raja Yeshua yang mereka sebut: ‘Iesous’
dalam bahasa Yunani. Akhiran ‘a’ tidak bisa mereka pakai untuk ‘Yeshua’ sebab
itu akan mengartikan bahwa Sang Mshikha adalah sosok wanita, semua nama wanita
pasti berakhiran ‘a’ oleh karena itu mereka ganti dengan akhiran ‘us’ menjadi ‘Iesous’.
Pelafalan ini bukanlah suatu masalah selagi hati mereka menyebut nama ini
dengan penuh rasa hormat. Dari kejauhan (gambar kanan), sutu gereja Yunani
pastilah bagunan yang enak dipandang mata, megah dan cantik. Itulah tuangan
rasa cinta mereka kepada Sang Raja. Mereka buatkan suatu istana, suatu
pemikiran yang sama dengan pikiran Raja David saat dia meminta Alaha untuk
membangunkan Bait Suci I di Yerusalem. Sejarah kembali terulang, Alaha
mengizinkannya.
BUDAYA HELENIS
YUNANI PADA BANGUNAN MESJID ISLAM
Islam
adalah agama yang lahir di tanah arab pada abad 7 Masehi menyusul menyebarnya
agama Mshikanuth di Arab. Dimulai saat para rasul berkumpul di Yerusalem saat
pencurahan Roh Kudus pada moment Savuot, sekitar tahun 27 Masehi. Tercatat
bahwa kejadian unik terjadi saat pewartaan injil Mar Kefa (Petrus) dan para
rasul dalam bahasa Aramaiknya bisa didengar juga oleh orang-orang Arab yang
berkunjung di sana.
Kis 2: 11 baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Alaha."
Dari
kejadian tersebut kabar baik menyebar di tanah Arab. Rasul Markus adalah Uskup
pertama di Gereja Koptik Mesir yang membuat bangsa itu menjadi bangsa Kristen
sebelum masuknya Islam, lalu Mar Addai dan muridnya Mar Mari menginjil ke
daerah Mesopotamia (Iraq) untuk mendirikan Church
of The East (Gereja Assyria) yang dikenal luas dengan sebutan ‘Nestorian’,
bahkan sebelum kelahiran Muhammad saw, kaum Etiophia Kristen sudah ada di
Mekkah[10].
Tanah Arab yang luas banyak dihuni oleh umat Kristen, namun Arab tidak pernah
ditaklukan oleh agama syiar ini, melainkan oleh Islam yang muncul belakangan.
Karena muncul belakangan inilah mengapa ada ajaran bahkan budaya dari
Kekristenan yang juga terserap secara tidak sadar oleh umat Islam. Salah satu
budaya tersebut adalah bentuk bangunan kubah ala Helenis Yunani.
Gb Hagia
Sophia
Tidak
pernah ada bukti sejarah bentuk asli masjid-mesjid kuno pada abad-abad awal
berdirinya Islam, semua mesjiq tua yang berhasil dilestarikan sudah mengalami
renovasi berkali-kali dan saat ini kebanyakan telah menyerupai bentuk dari
Gedung Gereja Byzantium dengan kubah di tengah. Satu sejarah yang tidak pernah
dilupakan baik oleh umat Islam dan Kristen Byzantium adalah jatuhnya
Konstantinopel, pusat Gereja Yunani ini di tangan Sultan muda Mehmed II yang
berusia 21 tahun pada tahun 1453. Konstatinopel berubah nama menjadi ‘Islambol’
atau kota yang penuh dengan simbol Islam, lalu dikenal dengan nama ‘Istambul’
sampai sekarang. Gereja besar Hagia Sophia berubah menjadi masjid raya besar.
Masih banyak umat Gereja Yunani yang menyayangkan alih fungsi rumah ibadat
megah mereka sampai sekarang. Bangunan lain di kota berdarah itu banyak
dibakar, namun gereja megah itu tetap tidak dirusak, kecuali banyak ikonisasi
yang bertebaran di dalam gereja tentunya karena itu bertentangan dengan ajaran
Islam. Umat Muslim begitu bangga dengan penaklukan ini dan juga bangga pada
masjid baru mereka dengan nuansa Yunani. Sejak abad 15 tersebut sampai
sekarang, bentuk masjid tidaklah memiliki banyak perbedaan dari Hagia Sophia.
Sampai masuk ke Nusantara juga demikian. Kubah dan Manoret adalah ciri dari
rumah ibadah Islam ini.
Gb
Mesjis-mesjid dengan menyerap deisgn Gereja Byzantium yunani
Bangunan
Minaret (Ind: Menara) di luar bangunan Mesjid juga merupakan adopsi dari
Tradisi Syria yang belum banyak diketahui oleh muslim. Minaret atau ‘Stylite’
dikenal oleh karena pola hidup Rahib Gereja Syria, Simon Si
Minaret yang hidup sekitar tahun 400 Masehi[11].
Mengapa disebut ‘Si Minaret’? Karena dia adalah seorang esketis kuat, sering
menyendiri, berdoa, dan berpuasa di tempat-tempat ketinggian. Dia menumpuk
batu-batu menjadi tempat berpijak yang cukup tinggi di tengah masyarakat
sekitar. Dia sering berdiri menjulang berjam-jam. Para murid dan orang-orang
yang kagum meletakkan tangga dan menyediakan kebutuhan sehari-harinya. Ada
kecendurungan tumpukan batu-batu tersebut dibuat semakin tinggi. Simon si
Minaret seakan ingin mencapai sorga dan menjadi penghubung langit dengan
bumi. Selama 37 tahun dia melakukan ini di antara kota Antiokia dan modern
Allepo. Pilar paling tinggi yang dipijaknya mencapai 20 mater. Orang-orang
dari Persia, Arab, dan Aramean berdatangan untuk melihatnya. Banyak terjadi
kesembuhan, banyak orang menjadi pengikut Yeshua, dan banyak juga masalah
yang selesai setelah dibawa kepadanya yang bertindak sebagai pemberi nasihat.
Si Minoret ini mengingatkan masyarakat disekelilingnya untuk berdoa 7 waktu
sehari dengan kiblat Timur seperti Tradisi umat Mshikaye pada umumnya.
Tradisi adanya pilar tinggi ini kemudian di bawa oleh Gereja Byzantium sampai
mereka ikut membangun pilar-pilar tinggi disekitar bangunan megah gereja
kubah mereka.
|
Gb. Minaret masjid, sumber: peterloud.co.uk
|
Tradisi
membangunan kubah dan Minoret inilah yang akhirnya di bawa oleh umat Islam di
seluruh dunia untuk membangun rumah-rumah ibadah mereka, termasuk ke Indonesia.
Design bangunan tersebut bukanlah asli hasil pemikiran mereka, namun merupakan
percampuran budaya Helenis Yunani dan Syria Antiokia.
Penyerapan
tradisi ini bukan masalah dosa atau tidak, bukan masalah salah atau benar. Ini
adalah hal wajar yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Kehidupan kita
sekarang adalah hasil dari tradisi masa lalu nenk moyang kita, demikian juga
bentuk-bentuk bangunan rumah tradisional kita atau rumah ibadat kita. Semua
adalah warisan leluhur. Jika kemudian ada modifikasi sana-sini itupun hal yang
wajar. Hasil modifikasi saat ini mungkin akan diwariskan terus ke anak cucu
kita sehingga kehidupan mereka akan semakin kaya akan budaya.
Ada
yang cukup unik di Indonesia perihal bangunan ini. Ada gereja modern pecahan
Protestan dengan nama Kristen Mesianik yang sangat anti pada Budaya Helenis
Yunani, mereka anti menyebut nama ‘Yesus’ atau ‘Iesous’ lebih memilih nama
Ibrani Mshikha yaitu ‘Yeshua’. Namun saat mereka beribadah, mereka tetap
menggunakan terjemahan kitab PB Yunani dan salah satu petinggi mereka
membangunan Gereja Kubah ala Yunani. Entah apa yang ada dipikirannya saat
design bangunan itu tercipta. Semoga dia sadar bahwa Injil bisa masuk ke setiap
budaya dan peribadatan tidak lagi harus berbudaya semitik Yahudi. Para rasul
bisa masuk ke semua rumah ibadah untuk mengabarkan injil. Mereka tidak pernah
membangun Sinagoge ke manapun mereka diutus. Rumah ibadah sejak abad 2 ke atas
memang disebut ‘Gereja’ (Church) bukan ‘sinagoge’. Nama ‘Gereja’ kemudian
dipakai sebagai nama organisasi jemaat perdana yang tersebar dalam penginjilan.
BUDAYA IKONISASI
Ikonisasi
adalah karya seni pewujudan manusia di dalam rumah ibadah. Biasanya lukisan
Miriam (Maria), Yeshua, dan para Kadosa (Ibr: HaQadoshim) atau orang-orang yang
dianggap suci dan patut diteladani. Ikonisasi
di dalam Gereja Roma Katolik dan Gereja Byzantium tidak berasal dari ajaran
Tanakh, tidak pernah. Di dalam HaTorah memang Alaha memerintahkan Mosha
untuk membuat patung Kerubim di Ruang Maha Kudus. Tapi hanya itulah ikonisasi
di dalam budaya semitik. Tidak pernah ada ajaran Yahudi untuk menggambarkan
wajah nabi-nabi di dinding-dinding sinagoga mereka. Sama sekali tidak ada baik
di dalam Tanakh maupun dalam Talmud mereka. Peribadatan Judaism, terlepas dari
ikonisasi tokoh-tokoh manusia. Ini adalah budaya Ibrani yang Alaha bentuk sejak
di Padang Gurun Sinai. Ikonisasi merupakan seni yang diwariskan oleh ajaran
pagan nenek moyang Romawi dan Yunani yang menyembah dewa-dewi. Setiap dewa
digambarkan dan suatu wujud manusia gagah, seorang dewi menyerupai wanita
cantik. Lukisan dan patung pahatan mereka terdapat di kuil-kuil penyembahan.
Budaya inilah yang mereka warisi. Saat injil diterima, mereka memang tidak lagi
menyembah Zeus, Apollo, Arthemis, dan lain-lain. Namun budaya seni rupa yang
tinggi itu mereka terus lestarikan dan terapkan di dalam gedung-gedung
peribadatan mereka.
Gb
Ikonisasi di dalam bagunan kuno Yunani, sumber: GNI design
Pergamus Altar (gambar tengah dan kanan) adalah suatu monumen yang
dibangun di zaman Raja Yunani Eumenes II pada abad 1-2 SM. Pada
dinding-dindingnya, dipenuhi images
dawa-dewi dan juga gamabr altar dewa tertnggi mereka, Zeus, suatu ikonisasi
dengan nilai seni yang tinggi da menjadi pusat turis saat ini. Gambar kiri
adalah gambar Kuil Doric Order. Bagian ‘metope’ atas pilar terdapat banyak
ikonisasi ilah-ilah pagan Yunani. Seperti
halnya bentuk bangunan, ikonisasi atau seni lukis dan patung di dalam
gedung-gedung gereja merupakan hal yang wajar sebagai bagian dari budaya yang
berkembang di tengah masyarakat Latin Roma dan Yunani Byzantium. Ini terlepas
dari masalah benar atau salah, dosa atau tidak berdosa membuatnya. Ini adalah
budaya manusia yang harus kita hormati. Sebagaimana kita mengharapkan orang
lain memahami budaya dan cara berpikir kita, kita juga harus mencoba memahami
dan tidak menghakimi budaya lain. Terutama juga karena bentuk budaya ikonisasi
yang mereka pakai dalam peribadatan bisa membantu mereka dalam menyembah Alaha.
Itu adalah hak suci mereka. Jadi dari sanalah asal muasal mengapa gereja Latin
Roma Katolik dan gereja Yunani Byzantium memiliki ikonisasi dan patung-patung
pahatan di dalam dan di luar gedung gereja mereka. Mereka terus melestarikan
budaya nenek moyangnya, bukan melestarikan budaya semitik Nazarene yahudi.
BANGUNAN
GEREJA NASRANI DI INDONESIA
Dengan
mengusung kembali dengan corak semitik Nazarene jemaat awal, maka GNI tidak
menekankan pentingnya bangunan gedung megah sebagai tempat peribadatan. Jika
ada dua pilihan antara memiliki gedung mewah bak Hagia Sophia di Jakarta atau
memiliki imam-imam yang memimpin di 10 provinsi, tentunya pilihan kami jatuh
pada pilihan kedua. Jemaat harus dilayani, katekumen harus diajar, orang-orang
luar harus diarahkan masuk ke dalam Perjanjian Baru. Peribadatan yang harus
dibangun terlebih dahulu, bukan bangunan ibadahnya. Rumah sekecil apapun bisa
menjadi tempat ibadah, selagi ada Mezbah dan Qurbana di atasnya. Semua gereja
ingin memiliki gedung megah, kami juga, namun akan lebih baik itu kami
disewakan dan kami memilih gedung yang sederhana namun nyaman untuk beribadat.
Budaya di Nusantara ini seperti Jawa, Batak, Ambon, dll tidak ada yang
mengajarkan kemewahan dalam peribadat kepada Alaha. Budaya gedung megah Yunani
dan Latin tidak perlu kami serap di Indonesia. Indonesia punya budaya sendiri
yang harus juga dilestarikan. Sebaiknya
peribadatan kembali ke rumah-rumah seperti jemaat awal. Kami akan beribadat di
rumah-rumah adat, di Toraja kami akan beribadat di Tongkonan sebagai ganti
gedung megah, di Jawa ibadat diawali dengan pukulan gong sebagai ganti tiupan
sofar, di Tana Batak menggunakan ulos sebagai ganti tallit Israel, di Bali kami
sholat (aram: Shlota) dengan bahasa local Bali, di daerah manapun kami akan
angkat budaya setempat. Kami akan menghidupkan injil bersamaan dengan tradisi
local. Kami tidak pernah anti budaya luar, hanya saja sudah merupakan komitmen
para rasul awal untuk membaur dan tidak membawa-bawa budaya Yahudi, kami juga
demikian.
Budaya gedung megah Yunani dan Latin
tidak perlu kami serap di Indonesia. Indonesia punya budaya sendiri yang
harus juga dilestarikan. Sebaiknya
peribadatan kembali ke rumah-rumah seperti jemaat awal.
Shm Sem Aldo Tulung Allo
|
Gb.
Uskup Nicholas memberikan berkat di depan Mezbah di Paroki Madiun, sumber: Foto
GNI,
[1] Im
26:11 (LAI) Aku akan menempatkan Kemah Suci-Ku di tengah-tengahmu dan hati-Ku
tidak akan muak melihat kamu. | Bil 1:51 (LAI) Apabila berangkat, Kemah Suci
harus dibongkar oleh orang Lewi, dan apabila berkemah, Kemah Suci harus
dipasang oleh mereka; sedang orang awam yang mendekat harus dihukum mati.
[2]
1Taw 29:1 (LAI) Berkatalah raja Daud kepada segenap jemaah itu: "Salomo,
anakku yang satu-satunya dipilih Allah adalah masih muda dan kurang
berpengalaman, sedang pekerjaan ini besar, sebab bukanlah untuk manusia bait
itu, melainkan untuk TUHAN Allah.
[3] Yer 31:31 (LAI) Sesungguhnya, akan datang waktunya,
demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum
Israel dan kaum Yehuda,
[5] Ibr
5:6 (LAI) sebagaimana firman-Nya dalam
suatu nas lain: "Engkau adalah Imam untuk selama-lamanya, menurut
peraturan Melkisedek."
[6]
Yoh 4: 21 Kata Yeshua kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan,
saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
[7]
Kis 2:46 (LAI) Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap
hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara
bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati,
[9]
Konstantine baru menjadi Kristen secara resmi saat dia dibaptis oleh imam dari
Arianisme tepat sebelum dia wafat. Sebelumnya dia hanya memanfaatkan
kekristenan sebagai alat politik, dia adalah imam untuk agama Mithra yang lama
dianutnya. Apakah pertobatan atau baptisannya SAH atau tidak, itu hanya Alah
dan dia yang tahu. Semoga Alaha
mengasihi jiwanya.
[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, 6th ed. (Macmillan
and St. Martin's Press, 1967, pp. 78-84 (on the Ghassanids and Lakhmids) and
pp. 87-108 (on Yemen and the Hijaz).
[11] A
Wessel, Arab and Christian? Christians in the Middle East, hal 85